Sejarah Kota Bogor

Source Wikipedia

Kota Bogor

Kota Bogor adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini terletak 54 km sebelah selatan Jakarta, dan wilayahnya berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Luasnya 21,56 km², dan jumlah penduduknya 834.000 jiwa (2003). Bogor dikenal dengan julukan kota hujan, karena memiliki curah hujan yang sangat tinggi. Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 68 kelurahan. Pada masa kolonial Belanda, Bogor dikenal dengan nama Buitenzorg (pengucapan: boit'n-zôrkh", bœit'-) yang berarti "tanpa kecemasan" atau "aman tenteram".


Hari jadi Kabupaten Bogor dan Kota Bogor diperingati setiap tanggal 3 Juni, karena tanggal 3 Juni 1482 merupakan hari penobatan Prabu Siliwangi sebagai raja dari Kerajaan Pajajaran.
Bogor (berarti "enau") telah lama dikenal dijadikan pusat pendidikan dan penelitian pertanian nasional. Di sinilah berbagai lembaga dan balai-balai penelitian pertanian dan biologi berdiri sejak abad ke-19. Salah satunya yaitu, Institut Pertanian Bogor, berdiri sejak awal abad ke-20.

Letak

Kota Bogor terletak di antara 106°43’30”BT - 106°51’00”BT dan 30’30”LS – 6°41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibu kota kurang lebih 60 km.

Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118,5 km² dan mengalir beberapa sungai yang permukaan airnya jauh di bawah permukaan dataran, yaitu: Ci (Sungai) Liwung, Ci Sadane, Ci Pakancilan, Ci Depit, Ci Parigi, dan Ci Balok. Topografi yang demikian menjadikan Kota Bogor relatif aman dari bahaya banjir alami.

Iklim, topografi, dan geografi

Kota Bogor terletak pada ketinggian 190 sampai 330m dari permukaan laut. Udaranya relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26 °C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70%. Suhu rata-rata terendah di Bogor adalah 21,8 °C, paling sering terjadi pada Bulan Desember dan Januari. Arah mata angin dipengaruhi oleh angin muson. Bulan Mei sampai Maret dipengaruhi angin muson barat.
Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0–15% dan sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15–30%. Jenis tanah hampir di seluruh wilayah adalah latosol coklat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi. Bogor terletak pada kaki Gunung Salak dan Gunung Gede sehingga sangat kaya akan hujan orografi. Angin laut dari Laut Jawa yang membawa banyak uap air masuk ke pedalaman dan naik secara mendadak di wilayah Bogor sehingga uap air langsung terkondensasi dan menjadi hujan. Hampir setiap hari turun hujan di kota ini dalam setahun (70%) sehingga dijuluki "Kota Hujan". Keunikan iklim lokal ini dimanfaatkan oleh para perencana kolonial Belanda dengan menjadikan Bogor sebagai pusat penelitian botani dan pertanian, yang diteruskan hingga sekarang.

Kedudukan geografi Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan ibukota negara, Jakarta, membuatnya strategis dalam perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Kebun Raya dan Istana Bogor merupakan tujuan wisata yang menarik. Kedudukan Bogor di antara jalur tujuan Puncak/Cianjur juga merupakan potensi strategis bagi pertumbuhan ekonomi.

Sejarah

Abad kelima

Bogor ditilik dari sejarahnya adalah tempat berdirinya kerajaan pertama yang dikenal di Indonesia - Kerajaan Hindu Tarumanagara di abad kelima. Beberapa kerajaan lainnya lalu memilih untuk bermukim di tempat yang sama dikarenakan daerah pegunungannya yang secara alamiah membuat lokasi ini mudah untuk bertahan terhadap ancaman serangan, dan disaat yang sama adalah daerah yang subur serta memiliki akses yang mudah pada sentra-sentra perdagangan saat itu. Namun hingga kini, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa erkeolog ternam seperti Prof. Uka Tjandrasasmita, keberadaan tepat dan situs penting yang menyatakan eksistensi kerajaan tersebut, hingga kini masih belum ditemukan bukti otentiknya.

Kerajaan Pajajaran

Di antara prasasti-prasasti yang ditemukan di Bogor tentang kerajaan-kerajaan yang silam, salah satu prasasti tahun 1533, menceritakan kekuasaan Raja Prabu Surawisesa dari Kerajaan Pajajaran, salah satu kerajaan yang paling berpengaruh di pulau Jawa. Prasasti ini dipercayai memiliki kekuatan gaib, keramat dan dilestarikan hingga sekarang.
Pakwan yang merupakan ibu kota pemerintahan Kerajaan Pajajaran diyakini terletak di Kota Bogor, dan menjadi pusat pemerintahan Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu Haji I Pakuan Pajajaran) yang dinobatkan pada 3 Juni 1482. Hari penobatannya ini diresmikan sebagai hari jadi Bogor pada tahun 1973 oleh DPRD Kabupaten dan Kota Bogor, dan diperingati setiap tahunnya hingga saat ini.

Zaman Kolonial Belanda

Setelah penyerbuan tentara Banten, catatan mengenai Kota Pakuan hilang, dan baru ditemukan kembali oleh ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Scipio dan Riebeck pada tahun 1687. Mereka melakukan penelitian atas Prasasti Batutulis dan beberapa situs lainnya, dan menyimpulkan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran terletak di Kota Bogor.

Pada tahun 1745, Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff membangun Istana Bogor seiring dengan pembangunan Jalan Raya Daendels yang menghubungkan Batavia dengan Bogor. Bogor direncanakan sebagai sebagai daerah pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal. Dengan pembangunan-pembangunan ini, wilayah Bogor pun mulai berkembang.

Setahun kemudian, van Imhoff menggabungkan sembilan distrik (Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Dramaga dan Kampung Baru) ke dalam satu pemerintahan yang disebut Regentschap Kampung Baru Buitenzorg. Di kawasan itu van Imhoff kemudian membangun sebuah Istana Gubernur Jenderal. Dalam perkembangan berikutnya, nama Buitenzorg dipakai untuk menunjuk wilayah Puncak, Telaga Warna, Megamendung, Ciliwung, Muara Cihideung, hingga puncak Gunung Salak, dan puncak Gunung Gede.

Kebun Raya Bogor

Sejarah


Kebun Raya Bogor
 
Kebun Raya Bogor pada mulanya merupakan bagian dari 'samida' (hutan buatan atau taman buatan) yang paling tidak telah ada pada pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi, 1474-1513) dari Kerajaan Sunda, sebagaimana tertulis dalam prasasti Batutulis. Hutan buatan itu ditujukan untuk keperluan menjaga kelestarian lingkungan sebagai tempat memelihara benih benih kayu yang langka. Di samping samida itu dibuat pula samida yang serupa di perbatasan Cianjur dengan Bogor (Hutan Ciung Wanara). Hutan ini kemudian dibiarkan setelah Kerajaan Sunda takluk dari Kesultanan Banten, hingga Gubernur Jenderal van der Capellen membangun rumah peristirahatan di salah satu sudutnya pada pertengahan abad ke-18.

Pada awal 1800-an Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, yang mendiami Istana Bogor dan memiliki minat besar dalam botani, tertarik mengembangkan halaman Istana Bogor menjadi sebuah kebun yang cantik. Dengan bantuan para ahli botani, W. Kent, yang ikut membangun Kew Garden di London, Raffles menyulap halaman istana menjadi taman bergaya Inggris klasik. Inilah awal mula Kebun Raya Bogor dalam bentuknya sekarang.


Monumen Olivia Raffles
Pada tahun 1814 Olivia Raffles (istri dari Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles) meninggal dunia karena sakit dan dimakamkan di Batavia. Sebagai pengabadian, monumen untuknya didirikan di Kebun Raya Bogor.
Ide pendirian Kebun Raya bermula dari seorang ahli biologi yaitu Abner yang menulis surat kepada Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen. Dalam surat itu terungkap keinginannya untuk meminta sebidang tanah yang akan dijadikan kebun tumbuhan yang berguna, tempat pendidikan guru, dan koleksi tumbuhan bagi pengembangan kebun-kebun yang lain.

Prof. Caspar Georg Karl Reinwardt adalah seseorang berkebangsaan Jerman yang berpindah ke Belanda dan menjadi ilmuwan botani dan kimia. Ia lalu diangkat menjadi menteri bidang pertanian, seni, dan ilmu pengetahuan di Jawa dan sekitarnya. Ia tertarik menyelidiki berbagai tanaman yang digunakan untuk pengobatan. Ia memutuskan untuk mengumpulkan semua tanaman ini di sebuah kebun botani di Kota Bogor, yang saat itu disebut Buitenzorg (dari bahasa Belanda yang berarti "tidak perlu khawatir"). Reinwardt juga menjadi perintis di bidang pembuatan herbarium. Ia kemudian dikenal sebagai seorang pendiri Herbarium Bogoriense.

Pada tahun 18 Mei 1817, Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip van der Capellen secara resmi mendirikan Kebun Raya Bogor dengan nama s'Lands Plantentuinte Buitenzorg. Pendiriannya diawali dengan menancapkan ayunan cangkul pertama di bumi Pajajaran sebagai pertanda dibangunnya pembangunan kebun itu, yang pelaksanaannya dipimpin oleh Reinwardt sendiri, dibantu oleh James Hooper dan W. Kent (dari Kebun Botani Kew yang terkenal di Richmond, Inggris).
Sekitar 47 hektar tanah di sekitar Istana Bogor dan bekas samida dijadikan lahan pertama untuk kebun botani. Reinwardt menjadi pengarah pertamanya dari 1817 sampai 1822. Kesempatan ini digunakannya untuk mengumpulkan tanaman dan benih dari bagian lain Nusantara. Dengan segera Bogor menjadi pusat pengembangan pertanian dan hortikultura di Indonesia. Pada masa itu diperkirakan sekitar 900 tanaman hidup ditanam di kebun tersebut.

Pada tahun 1822 Reinwardt kembali ke Belanda dan digantikan oleh Dr. Carl Ludwig Blume yang melakukan inventarisasi tanaman koleksi yang tumbuh di kebun. Ia juga menyusun katalog kebun yang pertama berhasil dicatat sebanyak 912 jenis (spesies) tanaman. Pelaksanaan pembangunan kebun ini pernah terhenti karena kekurangan dana tetapi kemudian dirintis lagi oleh Johannes Elias Teysmann (1831), seorang ahli kebun istana Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Dengan dibantu oleh Justus Karl Hasskarl, ia melakukan pengaturan penanaman tanaman koleksi dengan mengelompokkan menurut suku (familia).

Teysmann kemudian digantikan oleh Dr. Rudolph Herman Christiaan Carel Scheffer pada tahun 1867 menjadi direktur, dan dilanjutkan kemudian oleh Prof. Dr. Melchior Treub.
Pendirian Kebun Raya Bogor bisa dikatakan mengawali perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Dari sini lahir beberapa institusi ilmu pengetahuan lain, seperti Bibliotheca Bogoriensis (1842), Herbarium Bogoriense (1844), Kebun Raya Cibodas (1860), Laboratorium Treub (1884), dan Museum dan Laboratorium Zoologi (1894).
Pada tanggal 30 Mei 1868 Kebun Raya Bogor secara resmi terpisah pengurusannya dengan halaman Istana Bogor.

Pada mulanya kebun ini hanya akan digunakan sebagai kebun percobaan bagi tanaman perkebunan yang akan diperkenalkan ke Hindia-Belanda (kini Indonesia). Namun pada perkembangannya juga digunakan sebagai wadah penelitian ilmuwan pada zaman itu (1880 - 1905).
Kebun Raya Bogor selalu mengalami perkembangan yang berarti di bawah kepemimpinan Dr. Carl Ludwig Blume (1822), JE. Teijsmann dan Dr. Hasskarl (zaman Gubernur Jenderal Van den Bosch), J. E. Teijsmann dan Simon Binnendijk, Dr. R.H.C.C. Scheffer (1867), Prof. Dr. Melchior Treub (1881), Dr. Jacob Christiaan Koningsberger (1904), Van den Hornett (1904), dan Prof. Ir. Koestono Setijowirjo (1949), yang merupakan orang Indonesia pertama yang menjabat suatu pimpin lembaga penelitian yang bertaraf internasional.

Pada saat kepemimpinan tokoh-tokoh itu telah dilakukan kegiatan pembuatan katalog mengenai Kebun Raya Bogor, pencatatan lengkap tentang koleksi tumbuh-tumbuhan Cryptogamae, 25 spesies Gymnospermae, 51 spesies Monocotyledonae dan 2200 spesies Dicotyledonae, usaha pengenalan tanaman ekonomi penting di Indonesia, pengumpulan tanam-tanaman yang berguna bagi Indonesia (43 jenis, di antaranya vanili, kelapa sawit, kina, getah perca, tebu, ubi kayu, jagung dari Amerika, kayu besi dari Palembang dan Kalimantan), dan mengembangkan kelembagaan internal di Kebun Raya yaitu:
Kebun Raya Bogor sepanjang perjalanan sejarahnya mempunyai berbagai nama dan julukan, seperti
  • s'Lands Plantentuin
  • Syokubutzuer (zaman Pendudukan Jepang)
  • Botanical Garden of Buitenzorg
  • Botanical Garden of Indonesia
  • Kebun Gede
  • Kebun Jodoh.
  • Kebun tete

Istana Bogor

Sejarah Istana Bogor

 

Istana Bogor dahulu bernama Buitenzorg atau Sans Souci yang berarti "tanpa kekhawatiran".

Sejak tahun 1870 hingga 1942, Istana Bogor merupakan tempat kediaman resmi dari 38 Gubernur Jenderal Belanda dan satu orang Gubernur Jenderal Inggris.

Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Van Imhoff terkesima akan kedamaian sebuah kampung kecil di Bogor (Kampung Baru), sebuah wilayah bekas Kerajaan Pajajaran yang terletak di hulu Batavia. Van Imhoff mempunyai rencana membangun wilayah tersebut sebagai daerah pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal.

Istana Bogor dibangun pada bulan Agustus 1744 dan berbentuk tingkat tiga, pada awalnya merupakan sebuah rumah peristirahatan, ia sendiri yang membuat sketsa dan membangunnya dari tahun 1745-1750, mencontoh arsitektur Blehheim Palace, kediaman Duke Malborough, dekat kota Oxford di Inggris. Berangsur angsur, seiring dengan waktu perubahan-perubahan kepada bangunan awal dilakukan selama masa Gubernur Jenderal Belanda maupun Inggris (Herman Willem Daendels dan Sir Stamford Raffles), bentuk bangunan Istana Bogor telah mengalami berbagai perubahan. sehingga yang tadinya merupakan rumah peristirahatan berubah menjadi bangunan istana paladian dengan luas halamannya mencapai 28,4 hektar dan luas bangunan 14.892 m².
Namun, musibah datang pada tanggal 10 Oktober 1834 gempa bumi mengguncang akibat meletusnya Gunung Salak sehingga istana tersebut rusak berat.

Pada tahun 1850, Istana Bogor dibangun kembali, tetapi tidak bertingkat lagi karena disesuaikan dengan situasi daerah yang sering gempa itu. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Albertus Jacob Duijmayer van Twist (1851-1856) bangunan lama sisa gempa itu dirubuhkan dan dibangun dengan mengambil arsitektur Eropa abad ke-19.

Pada tahun 1870, Istana Buitenzorg dijadikan tempat kediaman resmi dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Penghuni terakhir Istana Buitenzorg itu adalah Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachourwer yang terpaksa harus menyerahkan istana ini kepada Jenderal Imamura, pemeritah pendudukan Jepang.
Pada tahun 1950, setelah masa kemerdekaan, Istana Kepresidenan Bogor mulai dipakai oleh pemerintah Indonesia, dan resmi menjadi salah satu dari Istana Presiden Indonesia.
Pada tahun 1968 Istana Bogor resmi dibuka untuk kunjungan umum atas restu dari Presiden Soeharto. Arus pengunjung dari luar dan dalam negeri setahunnya mencapai sekitar 10 ribu orang.
Pada 15 November 1994, Istana Bogor menjadi tempat pertemuan tahunan menteri ekonomi APEC (Asia-Pasific Economy Cooperation), dan di sana diterbitkanlah Deklarasi Bogor. [1] Deklarasi ini merupakan komitmen 18 negara anggota APEC untuk mengadakan perdangangan bebas dan investasi sebelum tahun 2020.
Pada 16 Agustus 2002, pada masa pemerintahan Presiden Megawati, diadakan acara "Semarak Kemerdekaan" untuk memperingati HUT RI yang ke-57, dan dimeriahkan dengan tampilnya Twilite Orchestra dengan konduktor Addie MS
Pada 9 Juli 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melangsungkan pernikahan anaknya, Agus Yudhoyono dengan Anisa Pohan di Istana Bogor.
Pada 20 November 2006 Presiden Amerika Serikat George W. Bush melangsungkan kunjungan kenegaraan ke Istana Bogor dan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kunjungan singkat ini berlangsung selama enam jam.

Bangunan dan ruangan di Istana Bogor

Sebelumnya Istana Bogor dilengkapi dengan sebuah kebun besar, yang dikenal sebagai Kebun Raya Bogor namun sesuai dengan kebutuhan akan pusat pengembangan ilmu pengetahuan akan tanaman tropis, Kebun Raya Bogor dilepas dari naungan istana pada tahun 1817.
Istana Bogor mempunyai bangunan induk dengan sayap kiri serta kanan. Keseluruhan kompleks istana mencapai luas 1,5 hektar.
Bangunan induk Istana Bogor terdiri dari:
  • Bangunan induk istana berfungsi untuk menyelenggarakan acara kenegaraan resmi, pertemuan, dan upacara.
  • Sayap kiri bangunan yang memiliki enam kamar tidur digunakan untuk menjamu tamu negara asing.
  • Sayap kanan bangunan dengan empat kamar tidur hanya diperuntukan bagi kepala negara yang datang berkunjung.
  • Pada tahun 1964 dibangun khusus bangunan yang dikenal dengan nama Dyah Bayurini sebagai ruang peristirahatan presiden dan keluarganya, bangunan ini termasuk lima paviliun terpisah.
  • Kantor pribadi Kepala Negara
  • Perpustakaan
  • Ruang makan
  • Ruang sidang menteri-menteri dan ruang pemutaran film
  • Ruang Garuda sebagai tempat upacara resmi
  • Ruang teratai sebagai sayap tempat penerimaan tamu-tamu negara.